Pembelajaran mata ajaran matematika di sekolah dasar masih lemah. Pengajaran matematika masih terfokus pada teori sehingga murid menjadi kurang kreatif, terlalu formal, dan masih terpaku pada rumusan baku.
Kelemahan pembelajaran matematika di sekolah ini terlihat pada lomba Mathematics Problem Solving Competition for Elementary School yang diselenggarakan Purikids, Sabtu (2/12).
Mayoritas peserta lomba yang terdiri atas 61 tim dari 15 SD cenderung kesulitan dalam mengerjakan soal terbuka berbentuk cerita. Mereka juga tidak terbiasa mempresentasikan penyelesaian soal matematika di depan kelas atau para juri.
"Perlombaan ini mencerminkan sistem pembelajaran matematika di sekolah. Guru tak pernah mendorong murid untuk menggali strategi sendiri. Anak-anak hanya bisa mengungkap apa yang mereka terima dari guru," kata anggota tim Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Yansen Marpaung, juri lomba.
Menurut Yansen, sekolah masih menerapkan metode dan strategi pengajaran matematika yang tradisional. Murid lebih banyak pasif dan tidak pernah belajar menyelesaikan soal terbuka. Tiap sekolah seharusnya mulai memberi kesempatan kepada murid untuk membangun strategi sendiri. Selain itu, pertanyaan yang diberikan kepada para murid harus terkait dengan realita hidup sehari-hari.
Saat ini PMRI intensif mendampingi 10 sekolah di Yogyakarta untuk lebih menerapkan pembelajaran matematika realistik. Sekolah tersebut, antara lain, SD Kanisius Demangan, MIN II Yogyakarta, dan SD Bopkri III. Pendampingan terutama bagi guru-guru dengan pertemuan rutin tiap bulan sekali.
Guru SD Marsudirini Andry Anugerah Hana mengaku kesulitan untuk menerapkan gaya pembelajaran matematika yang realistik. Penggunaan alat peraga dan presentasi sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. "Kami dikejar-kejar kurikulum, jadi terpaksa hanya mengajarkan rumus baku agar materi lekas selesai," ujarnya.
Perlombaan dengan presentasi dan soal terbuka, menurut Hana, juga baru pertama kali diikuti oleh murid-muridnya. Biasanya mereka hanya duduk diam mengerjakan soal tertulis. Tak heran murid-muridnya yang sudah biasa ikut lomba tampak stres dan kelabakan dalam mengerjakan soal.
Kali ini tiap tim yang terdiri atas tiga murid kelas empat hingga enam harus mengerjakan dua buah soal selama 10 menit kemudian mempresentasikan hasilnya di hadapan juri selama lima menit. Murid SD Marsudirini Alviora, misalnya, bertengkar dengan timnya begitu keluar dari ruang pengerjaan soal. Mereka saling menyalahkan karena kehabisan waktu dan tak bisa menyelesaikan soal nomor dua. Sementara, soal nomor satu juga tak bisa terjawab dengan baik karena mereka tak bisa menerjemahkan soal cerita ke dalam rumus yang selama ini dipelajari.
Panitia lomba, Theresia Prisana Purbani, berharap para murid bisa belajar untuk mendialogkan matematika dan tahu makna di balik rumus yang ada. Perlombaan ini adalah yang pertama kali diadakan dan dijuarai tim dari SD Budi Mulya II. (AB9)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar